Hari ini anak-anak saya mengesalkan. Saya agak dongkol menghadapi mereka.
"Ibu... Ibu kan wali kelas. Ibu harus bertanggung jawab dong!", Dona berkata agak berapi-api.
"Tanggung jawab apa?", saya masih belum nyambung.
"Aku gak mau nyuci piring. Anak-anak cowok ga pernah mau piket. Aku capek". Dona masih tersungut-sungut.
"Lho... pembagian tugasnya bagaimana toh mbak?"
"Ada Bu... tapi anak cowok kebangetan. Sekarang aja, piring diberantakin di kelas. Masa aku yang beresin sendiri ?".
Saya jadi mengernyitkan dahi. Ada apa sih anak-anak jadi ga mau piket begini ?
"Eh Dona sayang, siapa aja yang hari ini piket ? Ayo kita ke kelas!", saya menggamit lengan Dona menuju kelas.
Wow. Luar biasa.
Sekitar dua belas piring berserakan di lantai. Saya menghitungnya dengan menunjuk satu per satu. Apa-apaan ini? darah saya jadi tiba-tiba mendidih.
"Siapa yang hari ini piket mencuci piring bekas kalian makan ?", saya masih mencoba menjaga wibawa.
Seisi kelas sunyi senyap. Mereka membiarkan saya mencari jawabannya sendiri.
Hmmm... rupanya mereka ingin saya marah. Tapi, bagaimana caranya ya?
"Mas-mas dan mbak-mbak, tolong jawab pertanyaan saya, siapa yang seharusnya membereskan dan mencuci semua piring-piring ini atau saya yang akan membereskannya sendiri!", nada bicara saya semakin meninggi.
Anak-anak ini rupanya benar-benar mengetes kesabaran saya sebagai wali kelas yang baik.
Rese'. Saya jadi mengumpat dalam hati. Tak ada yang menjawab satupun.
Akhirnya dengan tangan gemetar menahan marah, saya mengambil piring satu per satu. Perlahan. Saya menunggu reaksi mereka. Bayangkan, 25 anak. Masa sih tak ada yang mau membantu saya. Ironisnya, anak-anak hanya memandangi saya.
Hah? Ini piring ke delapan. Semua jadi berubah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Saya sempat melihat Fathin Annisa asik memainkan HPnya, atau Zahra yang bersenda gurau dengan Dimas dan Joko. Ingin rasanya saya menjerit. Tapi setelah dipikir-pikir, kenapa harus menjerit ya? Saya merasa harus membereskannya sendiri. Jangan-jangan mereka marah sama saya karena saya akhir-akhir ini agak sibuk dengan kegiatan ulangan semesteran. Mungkin mereka sedang meminta perhatian.
Oh my God. Sampai semua piring terkumpul, tak satu pun mereka mempedulikan saya. Sialan!... saya jadi mengumpat lagi dalam hati. Astaghfirallah.
"Terima kasih ya...", saya merasa kata-kata itu terucap dengan terbata-bata. Saya sedih.Ada apa dengan anak-anak ini ?
Akhirnya saya keluar dari kelas dan membawa piring ke dapur, perasaan, air mata ini hampir jatuh.
Dada saya terasa sesak.
Saya mencoba ke kantor, kembali ke meja kerja. Biarlah anak-anak menyelesaikan masalahnya sendiri. Ga enak juga kalau saya menangis di depan anak-anak.
Ternyata, di kursi di depan meja saya, sudah ada Jojo dan Melinda.
Mereka agak tidak enak melihat saya.
"Bu... Ibu marah ya ?"... saya masih terdiam.
"Bu... anak-anak mau minta maaf sama Ibu...", Jojo sang ketua kelas menimpali Melinda.
Saya masih enggan bicara.
"Bu... maafin kami ya...", Melinda merajuk. "Ayolah Bu ikut ke kelas... anak-anak nunggu"
"Kenapa ga di sini aja ? Kamu kan sedang minta maaf sama saya ?", saya mencoba bertahan.
"Ga enak Bu sama Guru yang lain. Ibu ke kelas aja yuk...", Melinda merajuk lagi. Lengan saya ditarik.
"Ya sudah", saya memutuskan ikut mereka ke kelas.
Saya sudah mulai meluluh. Sekalian, biar tahu ada masalah apa sih mereka. Ko tumben-tumbenan membuat saya hampir menangis.
Jojo masih menundukkan kepala. Ga enak dia. Dia itu ketua kelas yang sepertinya sih sayang banget sama saya. Dia sudah piatu. Biasanya dia berkeluh kesah curhat sama saya. Kenapa hari ini dia jadi begini ya?
Banyak pertanyaan di kepala saya.
Saya membuka pintu kelas.
Tiba-tiba anak-anak berteriak-teriak. Tertawa riang. Suit-suit. Bertepuk tangan. Beda dengan keadaan tadi yang berantakan. Hei. Ada kue tart di atas meja. Di atasnya ada lilin menyala. Kue itu bertuliskan : Happy Birthday Mom....
Akhirnya, air mata saya menetes juga..
Rabu, 18 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah meninggalkan pesan ..