CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Cerpen 1

Nyanyian Rinduku 

(sebuah cerpen mengenang ibu: hari ibu 22 Desember 2011)
Aku renta, sudah hampir 70 tahun. Apa yang ada di pikiranku, apakah kalian pernah tahu atau mencoba mendatanginya ?
Anakku enam. Dua laki-laki dan empat perempuan. Secara berurutan dari yang tertua adalah Julia, Amanda, Junan, Khairi, Sofia, dan si bungsu Firda. Hanya Firda yang belum berkeluarga. Semua kakaknya pergi jauh dariku.
Julia menikah dengan Bray. Mereka tinggal di Perancis. Amanda dinikahi Minami dan memutuskan tinggal di Jepang. Junan sekarang menduda, karena istrinya tak tahan dengan pekerjaannya sebagai pelaut. Hanya seminggu dalam setahun Junan menemuiku. Khairi tinggal di Bandung, kariernya yang senior manager sebuah hotel berbintang menuntutnya bermobilitas tinggi, sehingga dia memutuskan tinggal di sana dibanding menemaniku di Bekasi yang kian sumpek ini. Sofia menikahi seorang guru. Hidup sederhana di daerah terpencil di ujung Bogor sana. Sementara Firda masih kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Firda kuliah hampir setiap hari. Usianya 23 tahun. Diam-diam aku berharap setelah  menikah dia tetap mau tinggal denganku. Tapi aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku ini. Aku khawatir permintaanku ini terlalu berat buat anak zaman sekarang yang superaktif.
Aku tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Hanya lulusan Sekolah Rakyat. Ketika almarhum suamiku melamarku, pada hari itu aku baru lulus sekolah. Ijazahpun tak pernah sempat aku ambil. Usia 14 tahun aku sudah harus menimang bayi. Sampai akhirnya aku beranak enam.
Kerasnya hidup membelajarkan aku untuk tetap survive. Dengan anak enam tanpa pembantu, aku tidak pernah bisa berleha-leha seperti orang tua yang lain. Walau suamiku tergolong punya jabatan di kantor, tapi dia tidak pernah memberikan aku uang belanja sendiri. Dia lebih berminat menanamkan uangnya untuk membeli tanah atau membuka usaha, sehingga sampai sekarangpun aku tidak pernah tahu berapa gajinya waktu itu. Bersyukurlah aku walaupun pada waktu itu hidup berkepayahan namun suamiku membuatkan kami rumah besar sehingga kami nyaman di dalamnya.
Sambil mengurus rumah  dan anak, aku kebagian mengelola warung nasi yang dibuatkan suamiku. Aku harus membuat warung ini terus hidup, kalau aku ingin anak-anakku makan.
Suamiku sangat keras mendidik aku dan anak-anak. Mereka sering  bilang, “Bapak galak”. Memang begitu. Suamiku kasar. Main tangan dan kata-katanya luar biasa. Aku akan melakukan apapun agar dia tidak marah. Kalau marah, aku khawatir anak-anakku melayang kena tamparannya.
Suksesnya anak-anakku sekarang, bisa jadi karena kerasnya didikan bapaknya. Tidak pernah mereka tidak sekolah atau terlambat bangun. Pendidikan agama juga ditanamkan dengan ketat. Dalam kesibukan mereka sekolah dan kuliah, mereka masih mau membantu aku di warung. Mereka tidak malu mengakui aku yang lusuh ini sebagai ibunya. Kadang aku menitikkan air mata mengingatnya. Mereka membanggakan aku.
Aku sadari, tanpa berkata apapun, suamiku menanamkan impian setinggi langit untuk anak-anakku. Menghiasinya dengan bintang-bintang indah bergelantungan. Mendidiknya mematuhi perintahnya sebagai orang tua. Mengajaknya beriman di sela kerasnya zaman berlalu, walau di sisi lain mereka kehilangan sosok ayah.
Mudah-mudahan anak-anakku bisa membedakan didikan mana yang seharusnya diberikan kepada anak-anak mereka. Aku tahu mereka mampu membedakan rasanya.
Aku hanya kesepian. Tapi aku tak mampu meminta pada mereka untuk pulang. Mereka harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan mereka. Mereka harus menemukan kedamaian dalam rumah tangga mereka. Mereka harus bisa meluangkan waktu mengajarkan anak-anaknya seperti kami mengajarkannya pada mereka. Mereka harus menyempatkan diri menanamkan karakter dalam jiwa anak-anaknya. Menyematkan kedisiplinan dalam setiap perjalanannya. Mereka harus bertanggung jawab terhadap kehidupan yang diberikanNya.
Aku hanya gemetar membayangkan masa lalu,  dan terkadang dilanda kangen luar biasa akan riuhnya suara mereka mengisi rumah ini.
Datanglah kapan kalian mau. Obati rasa rindu ini dan rasa rindu kalian juga. Aku tahu pasti kalianpun ingin larut dalam hangatnya pelukanku. Seperti dulu semasa kalian kanak-kanak. Mengadulah kepadaku. Berilah aku kesempatan memberikan kontribusi dan harapanku pada kebahagiaan kalian. Jangan khawatir akan doaku. Dia akan mengalir dalam desahan nafas kalian. Pesan terakhirku : jangan  lupakan Tuhan. Karena itu adalah tanggungjawab terbesarku sebagai ibu.
Rewrite: http://sitimugirahayu.wordpress.com/page/2/
image :suzannita.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah meninggalkan pesan ..